Dewi Sri (2003)

DEWI SRI

Pertemuan F. Widayanto (lahir 1953) dengan Dewi Sri, sang dewi padi, dewi pertanian, dewi kesuburan, merupakan perisiwa unik. Setelah ahli keramik lulusan ITB ini sebelumnya berjumpa dengan dunia wadah air, pengantin jawa (Loro blonyo), topeng (kedok), Ganesha-Ganeshi, ukelan, boneka (golekan), Ibu dan Anak, Kendi’ dan sebagainya. Sejumlah khasanah etnik yang menggoda, yang menegaskan bahwa Widayanto selama ini tidak pernah lelah kluyuran di lorong-lorong tradisi nusantara.

Namun berbeda dengan Perjumpaan Widayanto atas tema-tema sebelumnya yang di dasari sikap parodik , pertemuannya dengan Dewi Sri dilandasi sikap penuh hormat, seribu tabik.

Ia terkesan bagai sungkem terlebih dahulu memformulasi Dewi Sri sebagai karya cipta seni. Pilihan prilaku keseniman yang “formal” ini di akui widayanto sebagai sesuatu yang niscaya , karena “Sang Hyang Sri sudah sangat berjasa dan terlalu banyak memberi”. Dari sini kita bisa membandingkan, betapa atas tema Ganesha-Ganeshi dan Loro Blonyo misalnya, Widayanto Nampak mencipta dengan keliaran dan kebanalan fantasinya, dengan humor-humor yang tak terduka. Begitu pula ketika ia menghidupkan topeng (kedok), atau ketika ia mengolah sekitar Ukelan (Gelung, Konde), dunia kendi dan jagat kasih saying Ibu kepada anaknya. Semua obyek dan persoalan di hadirkan dalam suasana komikal dan karikatural, dengan menggelitik, dengan sikap yang mengesankan bahwa seisi dunia ini menarik di goyang, dibikin parodi, dieksploitasi.

Dewi Sri Karya Widayanto memang tidak menawarkan semangat mengeksploitasi, namun lebih mengedepankan spirit mengeksploitasi. Dengan begitu Ia menghayati sang Dewi bukan sebagai obyek yang digenggam untuk kemudian di kelola oleh tangannya. Tapi sebagai subyek yang di biarkan hidup sendiri, menegaskan eksistensinya sendiri, untuk kemudian dengan penuh kesadaran di gali segala kelebihannya. Dewi Sri ia tanggkap segala kelebihannya. Dewi Sri ia tanggkap sebagai inspirasi besar, mens divina atau wahyu. Dan ia mengkongkritkan wahyu itu.

Namun, meski se”Formal” apa pun yang di kerjakannya, Widayanto tetaplah seniman merdeka. Sehingga jika ia tidak mengelola obyeknya dengan semangat banal dan humor seperti pada karya-karyanya terdahulu, ia akan menawarkan hasratnya yang lain : pengagungan. Sehingga pada Dewi Sri ia mengangkat spirit hiperbolik yang intinya menegaskan kepada khalayak bahwa sosok khayli itu selalu berlebih. Lebih seksi. Dan setiap gerak dan polanya selalu lebih menawan, lebih lembut, lebih mulia, lebih gaya, lebih berwibawa, lebih berperasaan, lebih menenangkan , lebih menyenagkan, lebih membahagiakan . oleh karenanya, Dewi Sri lalu ditata, dirias dan di beri gaun dalam kadar yang harmonis, lebih fashionable , lebih haute couture , lebih up to date, lebih ratu atau queens of catwalk, sekaligus lebih membumi sebagai Dewi yang hidup di tanah pertiwi.

Maka aneka Dewi Sri pun muncul ke bumi. Jika orang mempercayai sosok Dewi Sri itu Cuma satu, maka Widayanto membantah Dewi Sri itu banyak. Lantaran setiap wanita bias menjadi dewi sri, ketika wanita itu sanggup menyampaikan semua kelebihan yang di jajar di atas, kaarenanya Dewi Sri dalam patung Widayanto hadir dalam wilayah personifikasi. Ada dewi sri yang secantik bintang top iklan sabun,

Ada yang seelok ratu kecantikan Venezuela, ada yang se anggun permaisuri raja jawa, ada yang semungil genduk desa , ada yang mirip bintang film Hollywood, ada yang semesra bintang sinetron Indonesia.

Dalam rias dan balutan busana yang mengacu kepada tradisionalitas, para Dewi Dri itu menyandang nama yang menegaskan kebaikan dan kesejahteraan. Dewi Srimayasih Umpamanya, yang berarti Sri sebagai air nanmelimpah. Sriwidopati, Sri yang pintar dan jujur. Sridayungore Sri berambut lebat terurai. Sri medalswiwi, Sri yang bersayap mengembang. Sriparimeteng, Sri yang bagai bernas buah padi. Sriasmaratih, Sri yang penuh cinta kasih. Sriwanudara, Srei yang serba berkecukupan. Sriboganiti, Sri pemberi pangan. Nama-nama rekaan Widayanto ini, sebagai hasil utak-utiknya atas kamus bahasa jawa adalah menifestasi dari rasa hormatnya kepada Dewi Sri. Pada bagian lain ia mengambil nama Sri dari Isteri-isteri tokoh baik wayang purwa. Seperti Srigantini dan Sriwidati. Para Dewi sri itu selalu digubai dalam gerak tanagan yang mengisyaratkan memberi . menawarkan serumpun padi, menuangkan segenggam beras, atau mempersilahkan siapapun untuk mengolah tanah, menanami bumi. Semuapun dengan posisi yang berdiri, posisi yang melambangkan sofistikasi, posisi ini serta merta menjadi unik, ketika kita tahu beta sebelumnya Widayanto sering secara atraktif mendudukan, menidurkan, menelentangkan atau bahkan menunggingkan obyek-obyeknya.


Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *